04 Mei 2008

Bacaan : II Samuel 18 : 29 – 33

Ada tata nilai yang berlaku umum dalam kehidupan orang Jawa, orang Jawa bilang : “Tega larane, ora tega patine.” Artinya orang masih bisa sanggup melihat saudaranya menderita karena yang menderita itu nakal, tetapi tidak sanggup mendengar kabar jikalau saudaranya itu mati, atau mengalami musibah hingga tewas. Sebagai orangtua tentu tidak ingin jikalau anaknya menderita atau terkena musibah meskipun anak itu mengecewakan orangtuanya.

Hal seperti itu pun dilakukan Daud, ketika ia mendengar bahwa Absalom yang memberontak kepada Daud ayahnya, didapatinya bahwa Absalom telah mati, Daud pun menangis. Dalam tangisan Daud, ia ingin jika menggantikan kematian anaknya itu dengan dirinya sendiri. Artinya Daud tetap tidak tega meskipun Absalom memusuhinya dan yang ingin menggantikan kedudukannya sebagai raja di Israel.

”Tega larane, ora tega patine.” agaknya bertentangan dengan ”Ilang-ilangan endhog siji.” Jikalau anak itu benar-benar menemui ajal atau pergi tanpa pamit, ketika orangtuanya sedang tersulut amarah, orangtua bisa mengatakan ilang-ilangan endhog siji barangkali orangtua tersebut sedang mengalami emosi sesaat, apakah benar dalam hatinya tidak terhinggapi perasaan sedih kalau mendengar anaknya yang ”mbeling” itu mati?

Daud sebagai orangtua yang dimusuhi anaknya, Absalom, tetap menunjukkan rasa sedih, ia merasa kehilangan anaknya sendiri. Bagaimanapun juga anak adalah darah dagingnya sendiri. Daud telah menunjukkan contoh kebesaran jiwa seorang ayah, belas kasih seorang ayah kepada anaknya.

Kita sering mendengar cara didik yang sangat keliru dalam masyarakat kita, jika anaknya tidak menurut perintah orangtua, ada saja orangtua yang berkata: ”Oo.. tak koplok ndhasmu.” perkataan itu sangat tidak mendidik dan lebih meneror perasaan si anak. Perkataan itu juga menunjukkan orangtuanya tidak terdidik!

Bukankah dalam kehidupan ini perlu sikap keteladanan, tidak hanya bagi lingkungan keluarga namun juga bagi lingkungan masyarakat yang lebih luas? Memendam emosi, menyimpan kebencian, memelihara perasaan tidak cocok, semuanya itu bukan watak orang Kristen! Jika kita masih ingin menjadi orang Kristen, buanglah semuanya itu! Merasa diri paling hebat, paling benar, paling pinter, paling bisa, itu juga bukan sikap orang Kristen. Milikilah sikap belas kasih, rendah hati, sabar dan bersedia mengampuni! Menjadi orang Kristen yang baik, tidak karena telah lama dibaptis, karena keturunan dari simbahnya sudah Kristen, tetapi orang yang mau belajar dan menjadi orang yang memiliki jiwa pengampun, belas kasih sabar dan rendah hati. Amin.

Oleh : Pdt. Tanto Kristiono.

Tidak ada komentar: